Saya dibesarkan oleh Mama saya yang sangat disiplin dan Bapak saya yang easy going, kemudian Ibu saya yang pembawaannya ceria. Bingung? Nanti sy ceritakan satu per satu.
Orangtua Tidak Boleh Membela, jika Anaknya Salah.
Mama (almarhumah) meninggal saat saya kelas 3 SMP. Jadi saya dan adik saya Suharti masih merasakan asuhan Mama yang sangat ketat, disiplin, selalu ada target dan perencanaan. Finansial dikelola sedemikian rupa, pendek kata, otak mama saya ini isinya bisnis.
Sementara di satu sisi, Bapak saya orangnya easy going. Jadi kalo dimarahin mama, papa hanya diam sambil nyenggol-nyenggol saya dan senyum. Bibirnya dibuat sedemikian rupa agar lucu dan membuat saya dan adik saya tidak terlalu sedih jika dimarahin mama.
Ibarat gas dan rem, mama bagian ngegas sementara Bapak yang bagian rem dan memainkan irama kecepatan. Dua kombinasi tugas yang berkesan untuk saya. Jika sekarang ada konsep tidak boleh ada dualisme pola asuh antara Ayah dan Ibu, maka saya pernah merasakan. Jika mama marah, maka Bapak saya diam. Jika Bapak marah (itu jarang sekali), maka mama diam. Mereka tidak akan membela. Seingat saya tidak ada kejadian yang saya lihat, dengar dan rasakan jika kedua orang yang saya cintai ini berselisih pendapat untuk mendidik saya dan adik saya.
Jangan Tanya Soal Dimarahin Guru
Dulu kami takut dengan guru-guru kami, bukan karena mereka galak. Kami khawatir jika kesalahan kami di sekolah dihukum oleh guru, lalu diberitahukan kepada orangtua kami. Ini bukan hanya saya lho, tapi umumnya orangtua di desa dulu begitu. Apalagi diketahui oleh Mama saya. Wah itu bisa jadi masalah dua belas.
Pernah suatu ketika saat SD saya melakukan kesalahan di sekolah, menurut saya sih sepele, diketahui oleh Mama. Pulang sekolah saya dihukum luar biasa oleh Mama saya. Prinsipnya dulu itu, kata Mama saya, jika kamu dimarahin atau dihukum oleh Guru sekali, maka Mama akan menghukum kamu dua kali lebih berat.
Jadi, mohon maaf, tidak ada atau jarang sekali orangtua berselisih pendapat dengan guru, jika anaknya dihukum. Na bengke si Ibu/Bapak Gurue, bodo lalo pu ana mada re. Aina wi’i (Jika anak saya nakal, Ibu/Bapak Guru, hukum (pukul) saja anak saya itu. Jangan dibiarkan).
Bagaimana dengan sekarang? Mungkin ceritanya masih sama atau berbeda ya….. Hehehehe.
Mengaji dan Menangis
Pernah mendampingi/ngajari anak belajar dan mengaji? Bagaimana jika anak Anda tetap tidak bisa setelah diajari berkali-kali? Mungkin merasa tidak sabar dan gregetan ya….
Dulu setiap habis sholat Maghrib, waktunya mengaji. Nah itu tandanya waktu juga untuk menangis. Bagaimana tidak, disiplin dan kerasnya mama saya benar-benar berkesan. Setiap mengaji, di sampingnya Mama selalu ada benda keras (haju ka’a = potongan kayu bakar) yang siap menghinggap di paha jika tidak bisa atau salah.
Apakah jika saya menangis Mama akan berhenti? Tentu tidak. Justru yang ada tambah lama mengajinya dan tambah banyak pukulannya. Mungkin kalau sekarang sudah kena Undang-undang Perlindungan Anak, Mama saya itu.
Mungkin jika saya maknai sekarang, Mama saya akan menjelaskan: “Lebih baik saya membuat kamu menangis saat belajar daripada kamu menangis karena bodoh. Lebih baik saya membuat kamu menangis karena belajar mengaji, dari pada saya yang menangis karena tidak ada yang bisa membacakan Al-Qur’an untuk saya nantinya.”
Bapak/ibu ajarilah anak Anda mengaji. Meskipun mereka punya guru/ustadz tapi tanggung jawab utamanya tetap ada pada Anda. Karena sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.
Mengajarkan Susah sebagai Bagian dari Usaha dan Keberhasilan
Anak-anak desa terbiasa bekerja dan membantu orangtua di sawah. Saya bersyukur mungkin dulu tidak harus bekerja sangat keras sebagaimana teman-teman saya dulu di desa. Tapi bagaimanapun, Mama saya tidak membiarkan saya berleha-leha.
Saya pernah mendampingi Mama bekerja di sawah, menanam hingga memanen padi, kedelai, bawang, cabai, dll. Mama selalu bilang: Wati si ca’umu iu maki, wati wara di rakamu. Ando wara oha ma loa mai lu’u mpoa ara asa (Jika kamu tidak mau capek/lelah, maka kamu tidak akan dapat apa-apa. Tidak ada nasi yang masuk begitu aja ke dalam mulut). Artinya selalu ada usaha dan ikhtiar.
Mungkin Mama saya juga ingin menyampaikan secara tidak langsung, bahwa hidup itu tidak selalu semudah yang kita bayangkan, jadi harus siap berusaha keras apapun kondisinya. Karena kunci dari keberhasilan adalah bekerja keras dan bekerja cerdas.
Membersihkan Tempat Tidur, Membuka dan Menutup Jendela
Dulu Mama selalu mengajarkan, bersihkan dan rapikan tempat tidur sebelum dan sesudah tidur. Kebiasaan itu saya terapkan sampai sekarang. Bagaimana jika tidak? Kebayang bagaimana Mama yang super disiplin ini akan memarahi saya. Hehehehe
Sekarang saya menyadari sebagai orangtua, ini sebenarnya bukan soal merapikan tempat tidur, tapi soal berbagi peran dan tanggungjawab. Sebagian orang mungkin masih beranggapan, dalam rumah tangga ada pekerjaan laki-laki dan ada pekerjaan perempuan. Namun oleh Mama, tidak boleh demikian. Dulu oleh Mama saya diajari juga memasak, mencuci, dan berbagai pekerjaan dapur. Sehingga siapapun yang kebagian tugas maka harus dikerjakan dan diselesaikan.
Masih banyak pelajaran hidup yang bisa kita dapatkan dari kedua orangtua kita. Ini hanya secuil cerita saya. Bagaimana cerita Anda?
Tulisan ini saya share juga di www.facebook.com/coachilham
Leave a Reply